Minggu, 29 Agustus 2010

CRAWLER CRANE




Setiap kejadian ada hikmahnya. Seperti halnya alat ini, baru tahu setelah pindah ke proyek ini dan mengalami permasalahan alat bantu.
Kemi menghadapi kesulitan untuk mengantisipasi laju pekerjaan kami yang terhambat karena struktur tower crane kami. Karena struktur tersebut kami tidak dapat menyelesaikan secara utuh bagian tertentu dari bangunan kami, padahal jadwal sudah semakin mendesak. Pada saat itu kami hanya berpikir untuk memindahkan titik tower crane ke lokasi yang lebih jauh, dan membayangkan pondasi dan dudukan bracing dari tc tersebut. Belum masalah passenger hoist yang ada di sana. Makin bingung.
Kemudian rekan kami ada yang berusaha mencari tahu segala macam alat yangtersedia di sekitar proyek kami, dan ada satu pemecahan yang menarik. Yaitu Crawler crane ini.
Dari penuturan yang kami dapatkan, crawler ini dapat kami gunakan sebagai pengganti TC dengan pertimbangan :
1. Bobot maksimum yang dapat dipikul oleh crawler ini memenuhi kebutuhan kami (kami melihat yang mampu menahan bobot sampai dengan 100 ton)
2. Panjang lengan mencukupi untuk kebutuhan area kami (kami butuh sampai dengan 45 meter)
3. Yang pasti kami harapkan murni menghilangkan struktur TC dari area sturktur bangunan kami, yang jelas-jelas dipenuhi oleh alat ini. Karena prinsipnya alat ini seperti mobile crane yang bannya adalah tipe ban datar (ban baja). Namun dapat bekerja layaknya TC.
4. Proses bongkar dan pasang cepat dan tidak mengganggu pekerjaan.

Walaupun begitu ada pertimbangan negatif yang kami dapatkan yaitu :
1. Harga sewanya yang cukup mahal.
2. Sistem gantungan yang berbeda dengan TC (yang menggunakan dua sling sehinga lebih stabil), tipe ini menggunakan satu sling, sehingga rawan berputar.
3. Operator ada di bawah (berbeda dengan TC operatornya ada di atas) sehingga selalu membutuhkan tenaga tambahan karena jarak pandang yangterbatas pada ketinggian crawler tersebut.

Keputusan kami tetap menggunakan alat tersebut, karena dengan alat tersebut kami dapat menyelesaikan struktur secara utuh tanpa terganggu proses pasang dan bongkar alat.

Senin, 28 Juni 2010

Menara ATC

dalam sebuah bandar udara terdapat sebuah bangunan yang berfungsi untuk mengawasi jalannya aktivitas penerbangan di bandara tersebut. Bangunan ini biasanya paling tinggi di bandingkan bangunan lainnya di sekitar bandara. Bangunan tersebut biasanya disebut sebaga ATC (Air Traffic Control) Tower, atau menara ATC.
Pandangan yang harus bebas mengarah ke arah landasan dan Apron (tempat parkir pesawat) menempatkan menara pada bangunan yang memiliki karakter khusus. Mulai dari denah dalam bangunan yang di utamakan bebas pandang ke segala penjuru arah, kemudian aksesibilitas yang mudah namun hanya dibatasi bahkan hingga ke bagian tanaman yang ada di sekililingnya. Tujuan hanya satu, yaitu memiliki pandangan yang luas ke segala arah bandara.
Dalam proses pembangunannya pun memiliki karakter khusus. Kadang dikarenakan sempitnya core di dalam menara tersebut maka sangat sulit untuk melakukan aktivitas konstruksi di dalamnya.

Selasa, 09 Februari 2010

BANGUNAN PRACETAK

Membangun sebuah bangunan gedung layaknya menggunakan LEGO? Sedikit menggelitik. Dengan lego kita memang dapat mebuat berbagai bentuk bahkan maket bangunan sekalipun, tapi lego seperti dipahami orang dibuat hanya untuk sebentar saja. Selain itu, dengan sistem lego, dengan meletakkan tonjolan di atas masing-masing bloknya dan bobotnya yang relatif ringan, memungkinkan itu terjadi. Namun jika kita mundur ke belakang maka hal itu bukanlah sesuatu yang baru.
Kuil Parthenon di Yunani, dibuat dengan cara menumpuk bebatuan, memilihnya, mengunakan sesuai ukuran dan memahatnya untuk kemudian disusun menjadi sebuah bangunan yng sekarang kira lihat puingnya. Lebih jauh lagi, kaum fir'aun, menumpuk bebatuan dari gunung yang didatangkan dari jauh, satu per satu hingga menjadi bangunan yang sekarang kita lihat. Dan terakhir di negeri sendiri yaitu candi borobudur. Semuanya dibangun dengan membuat bagian-bagian bangunan di luar lokasi pembangunan untuk kemudian dipasang pada lokasi yang sudah direncanakan.
Dengan teknologi yang ada saat ini, maka teknik membangun ini menjadi terbuka kembali. Kemajuan di bidang metalurgi menghasilkan baja yang dijadikan tulangan pada struktur bangunan masa kini. Di bagian kimia menghasilkan semen, admixture dan lain sebagainya sebagai material bangunan. Di bidang teknik mesin, hidrolika dan angkutan, kita kenal mobile crane. Sehingga untuk melaksanakan sistem pracetak pun semakin mudah dilakukan.
Seperti halnya lego, dengan sistem pracetak, kolom, balok, plat atau bagian lainnya pada sebuah bangunan dibuat di luar lokasi pengerjaan untuk kemudian dipasangkan. Awalnya adalah sebuah bangunan yang sudah direncanakan dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Bagian-bagian tersebut dikumpulkan dan diidentifikasi. Setelah itu secara bertahap dan berurutan bagian-bagian tersebut diproduksi. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dipasang pada posisi sesuai rencana.
Saat ini ada kurang lebih 27 macam sistem pracetak yang dihasilkan oleh putra-putri Indonesia. Salah satunya adalah sistem NINDYA SPIRCON, yang diilhami oleh Bpk. Lutfi Faisal dan saat ini dipegang lisensinya oleh PT. NINDYA KARYA (Persero). Sistem ini membagi struktur bangunan (terutama bagian atas) menjadi tiga bagian utama dan bagian penunjang lainnya. Ketiganya yaitu Kolom, Balok dan Plat. Keunikan sistem ini ada pada sistem sambungan antara balok dan kolom, serta kolom dan kolom dimana sistem ini menggunakan besi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga meyerupai coil atau per, yang disebut sebagai spiral. Spiral ini yang menghubungkan pembesian antara bagian-bagian bangunan ini untuk kemudian digrout. Plat lantai diletakkan di atas balok yang sudah disusun tadi. Beberapa bangunan rumah susun sudah didirikan dengan menggunakan sistem ini. Salah satunya di Pinang Elok, Jakarta. Pengembangan untuk menjadikan sistem ini menjadi lebih baik masih dilakukan dengan harapan sistem ini dapat menjadi salah satu sistem yang dapat diandalkan dalam mendirikan bangunan gedung, tidak hanya hunian namun jenis lainnya.

Sabtu, 02 Januari 2010

Now Introducing the Burj Dubai

KUTIPAN DARI ARCHITECTURAL RECORD

By Tim McKeough

Dubai has made headlines in recent weeks for its financial woes, and many are saying this once-booming desert metropolis has gone bust. But the emirate does have something to celebrate: The Burj Dubai, the world’s tallest building, is due to officially open on January 4.

The Burj Dubai, the world’s tallest building, is due to officially open on January 4.
Photo courtesy SOM
The Burj Dubai, the world’s tallest building, is due to officially open on January 4.

Precisely how many feet this superlative tower rises into the sky remains a mystery. “The final height is still being guarded closely,” says George Efstathiou, FAIA, managing partner in charge of the project at Skidmore, Owings & Merrill. “We’re bound to keep it a secret.”

The skyscraper is widely believed to be 2,684 feet tall, but recent changes to the way the Council on Tall Buildings and Urban Habitat measures building height complicates such estimates. Still, regardless of final calculations, the Burj Dubai will rise considerably higher than Taiwan’s 1,667-foot-tall Taipei 101, which opened in 2004 and has held the record for the world’s tallest building in terms of “height to architectural top.”

Situated in the city center, the roughly 160-story Burj Dubai will consist primarily of luxury apartments, office space, and an Armani Hotel. Encompassing more than 3 million square feet above grade, with an additional 2 million square feet below, the tower was built with some 327,000 cubic yards of concrete and 35,700 metric tons of rebar. At the peak of design activity, SOM had a team of 100 employees dedicated to the project in its Chicago office, along with a handful in Dubai.

The tower was originally scheduled to be completed in 2008, but developer Emaar pushed the date back several times in response to height modifications, construction worker strikes, and changes to interior finishes. “The obstacles were nothing more than normal” for a supertall tower, Efstathiou reports, noting that in terms of structure, the building was on solid footing from the beginning due to its Y-shaped base. He adds that although the tower will formally open in January, “polishing” work will continue for a few months.

Efstathiou says his team’s excitement has escalated in recent months, as the building nears completion. But he adds, “There’s also some sadness that this journey we’ve been on for over six years is now coming to an end.”

Blair Kamin: SOM Chicago Thinks and Acts Big

LEARN FROM THIS

di kutip dari site Architectural Record

Text size: AA

By Blair Kamin, TRIBUNE CRITIC

It is fitting that 2009's Chicagoans of the Year in architecture are in the Chicago office of Skidmore, Owings & Merrill (SOM). This was the year when Chicago celebrated the 100th anniversary of Daniel Burnham and Edward Bennett's Plan of Chicago -- and, with it, the notion that big plans can achieve spectacular payoffs for a city's quality of life. Few mega-firms do big buildings and big plans as consistently well as this one.

SOM Chicago demonstrated that attribute this year on multiple fronts, most notably the Trump International Hotel & Tower, the tallest American skyscraper since 1974, and its award-winning plans for the expansion of Chicago's downtown river walk and the city's unsuccessful bid to host the 2016 Summer Olympics.

On Jan. 4, the biggest of its big projects can be expected to grab the world's attention with the opening ceremonies for the Burj Dubai, the world's tallest building. The thin, mixed-use skyscraper rises half a mile into the sky above Dubai, the debt-ridden city-state of the United Arab Emirates.

Its other major offices in New York and San Francisco, SOM was founded in 1936 by Louis Skidmore and Nathaniel Owings, who helped plan Chicago's Century of Progress Exposition of 1933-34. (The third name partner, John Merrill, joined them in 1939.) As architectural historian Henry-Russell Hitchcock once observed, SOM was the first firm to apply the principles of modern American management to the spare, "less is more" architecture of European modernism. At its best, that synthesis produced such midcentury modernist icons as the glistening Inland Steel Building and the X-braced John Hancock Center.

The SOM Chicago office is a different animal from the corporate colossus of the late 1970s, which had hundreds of draftsmen sitting at row after row of parallel desks. The efficiencies promoted by computers (along with fluctuations in the market and a loss of business in Chicago) have shrunk the staff to about 250. At the same time, SOM's modernism has evolved to incorporate today's commitment to sustainable design as well as the freedom from right-angled orthodoxy made possible by the computer.

These influences are apparent globally, from Shanghai to Dubai to Brussels, where SOM Chicago designed the under-construction headquarters of the North Atlantic Treaty Organization. Yet the Chicago office's impact is still felt in its home city, as evidenced by the Trump Tower -- not a great building, but certainly a good one, whose luminous steel-and-glass exterior turned out to be better than anyone expected from flashy New York developer Donald Trump. Former Skidmore partner Adrian Smith, who left SOM in 2006 to start his own firm, led the designs for Trump and the upcoming Burj Dubai.

SOM Chicago has also distinguished itself in structural engineering, through the innovative work of partner William Baker, and in urban planning, through city-friendly designs of partner Phil Enquist. Perhaps it's a coincidence, but SOM's Chicago offices are in the Santa Fe Building at 224 S. Michigan Ave., the very building from which Burnham conceived the plan that would revolutionize the city.

"We've developed a reputation for being able to grapple with projects on a large urban scale," said Jeff McCarthy, the management partner for SOM Chicago. "It begets architecture of importance."